Wasiat patah hati


Secangkir kopi panas menemani siangku saat ini. Lalu lalang orang di depanku pun tak sempat aku hiraukan. Aku berkutat pada kesendirian, dengan tatapan kosong dan perasaan menahan sedih. Sebelum senja berakhir, aku ingin berserah padanya. Senja yang biasanya tak pernah kupercaya, kini kugantungkan pasrahku padanya. Kali ini tak muluk-muluk inginku. Hapuskan perasaan tak tentu ini yang tertahan dalam senyum-senyum palsu.

Siapakah gerangan yang mampu membuatku begini? Akupun tak tahu. Entah siapa yang kemudian harus peka? Apakah senja yang selalu harus mengakhiri dan fajar yang selalu mengawali? Kemudian dimana harapan berada? Di kicauan burung pipit di pagi hari ataukah di saat kelelawar mulai keluar rumah dan mencari makanan?

Siapa yang harus mengerti? Syifa kah (sebut saja itu) ? Seorang gadis cantik yang begitu jail, periang dan juga sering mengecewakan hehe. Ah aku pikir  lebih baik aku berpura-pura menjadi batu nisan dan tidak mengerti semuanya. Tenggelam oleh aksara maut? Ya mungkin itulah sepucuk garis hidup ini. Ku menatap sekitar….. Siapa yang mau aku hantam? Aku lalu berubah menjadi Mike Tyson dan akan kuhantam sepuluh kali lebih ngeri dari yang pernah kalian lihat.

Ah percuma, sekuat apapun aku, kelemahan ini lebih menguasaiku. Aku takut dan aku hanya melindungi hati agar tak rusak lagi. Siapa yang benar-benar tahu kelemahanku? Ya aku sendiri. Takut hati rusak? Titipkan saja pada yang benar-benar bisa menjaga. Siapa dia?

Mungkin banyak yang bertanya apa maksud tulisan ini. Saya pun tidak tahu! Saya bukan tokoh fiksi yang biasa diperankan, namun saya hanya wayang yang menunggu dalang yang tepat. Ah bullshit semua tebakan kalian. Saya tidak marah kok, saya tidak sedang kenapa-napa. Saya hanya menjaga hati. Ini surat wasiat, ketika suatu saat saya patah hati.

Sudah tau siapa saya? Saya fajar, yang melahirkan mentari dan sinarnya, yang kemudian berkuasa lalu hilang dan disebut senja.
Salam, senyum palsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar